BAB
I
A. AL-GAFFAR
1. Pengertian
Al-Gaffār AlGaffar berasal dari kata
gafara yang berarti menutup. Ada juga
yang berpendapat bahwa ia diambil dari kata alGafaru yang artinya tumbuhan
yang digunakan untuk mengobati luka. Jika diambil pendapat yang pertama Allah
Swt melalui asmaNya alGaffar menampakkan kebaikanNya dengan menutupi keburukan manusia di dunia dengan
anugerahNya. Sementara pendapat yang
kedua berarti Allah Swt memberikan anugerah penyesalan atas dosa bagi hambaNya
yang akhirnya penyesalan ini sebagai obat yang menyembuhkan dan terhapusnya
dosa.
Di dalam al Qur’an kata alGaffar
disebutkan sebanyak lima kali dua ayat disebutkan dengan terpisah yang identik
dengan pengampunan dosa seperti di dalam firman Allah Swt: “Maka aku katakan
kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun” (QS. Al Nuh (71)10) Sementara tiga ayat lainnya disandingkan
dengan sifat ‘Aziz.
Hal yang terakhir ini tidak menunjukkan
pengampunan dosa melainkan Allah Swt dengan alGaffarnya menutupi dosa serta
kesalahan dan banyak hal lainnya dari diri manusia.
2. Meneladani
Allah dengan sifat al-Gaffār
Imam al-Ghazali mengartikan alGaffar
Allah sebagai Dzat Yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dosa yang
dilakukan oleh seseorang adalah bagian keburukan yang ditutupi oleh Allah
sehingga tidak terlihat oleh orang lain di dunia dan dikesampingkan kelak di
akhirat. Di antara hal yang ditutupi oleh Allah Swt pada manusia:
Pertama,
tubuh bagian dalam manusia dengan dengan bentuk lahiriah yang indah
Kedua, bisikan dan kehendak hati manusia yang buruk.
Ketiga,
dosa dan kesalahan manusia yang semestinya diketahui oleh khalayak umum.
Dengan demikian makna alGaffar demikian
luas karena mencakup berbagai hal dan bukan hanya semata-mata tertuju kepada
seluruh manusia di muka bumi ini. Kita
dapat meneladani Allah melalui sifat alGaffar ini dengan cara memilki
sifat-sifat berikut :
a. Senantiasa
memaafkan kesalahan orang lain
Memaafkan
atau al ‘afwu dalam bahasa Arab berarti pembebasan dari tuntutan, kesalahan
atau kekeliruan pada seseorang. Di dalam
al Qur’an terdapat tiga puluh tujuh kata al ‘afwu dengan berbagai kata
perubahannya. Di dalam al Quran misalnya dinyatakan: “Dan pema’afan kamu itu
lebih dekat kepada takwa”(QS. Al Baqarah(2):237)
Di dalam hadits dari Abu Hurairah Rasulullah
Saw bersabda: ) “Berilah kasih sayang dan berikan maaf,
niscaya Allah Swt mengampuni kalian (HR. Ibnu Majah)
b. Menampakkan
kelebihan orang lain dengan tidak menampilkan kekurangannya
Menampakkan
kebaikan atau kelebihan orang lain juga merupakan pengamalan dari alGaffar.
Dengan melakukan hal ini berarti seseorang benarbenar mencintai saudaranya
dengan sebenar-benarnya.
A. AL-RAZZAQ
1. Pengertian
Al-Razzaq diambil dari kata razaqa atau
rizq, yakni rezeki. Hanya saja makna Rezeki mengalami pengembangan makna
sehingga ia juga dapat berarti adanya pangan, terpenuhinya kebutuhan, honor
seseorang, ketenangan ataupun hujan serta maknamakna lainnya. Dengan demikian
rezeki berarti segala pemberian dari Allah Swt yang dapat dimanfaatkan baik
berupa fisik, maupun non fisik.
Dalam al Quran kata alRazzaq hanya
disebutkan satu kali di dalam firman Allah Swt: “Sesungguhnya
Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”(QS.
AlDzariyat(51):58)
Hanya saja banyak ayat yang lain yang
menggunakan akar kata al Razzaq ini yang tersebar di dalam al Quran. AlRazzaq
berarti Allah Swt secara berulang-ulang dan terus-menerus memberikan banyak
rezeki kepada makhlukNya. Dalam hal ini Imam Ghazali berkata:”Allah Swt yang
menciptakan rezeki dan Ia pula yang menciptakan pencari rezeki sekaligus Yang
mengantarkannya serta menciptakan hukum kausalitas sehingga manusia dapat
menikmatinya”
2. Meneladani
Allah dengan sifat al-Razzāq
a. Setiap orang sudah dijamin rezekinya.
Sesungguhnya
seluruh makhluk Allah sudah dijamin rezekinya. Manusia yang mendapatkan rezeki
dengan cara-cara yang haram sekalipun sesungguhnya oleh Allah Swt sudah
disediakan rezeki yang halal, tetapi sosok yang bersangkutan enggan
mengambilnya atau kurang puas dengan perolehannya sehingga ia memilih rezeki
yang haram. Allah Swt berfirman: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di
bumi melainkan Allahlah yang memberi rezkinya (QS. Hud(11):6) Agama
menganjurkan manusia dalam rangka memperoleh rezeki untuk berusaha semaksimal
mungkin dan apabila terhalangi, maka ia dianjurkan untuk berhijrah.
b. Berusaha secara maksimal
dan qona’ah
Harus
dipahami bahwa jaminan rezeki yang diberikan oleh Allah Swt disertai dengan
usaha. Selain itu kita juga harus menyadari bahwa yang memberikan jaminan
rezeki tersebut adalah Allah Swt Dzat yang menciptakan makhluk dan hukum alam
yang mengatur kehidupannya. Dengan demikian kehendak, perasaan selera dan
instink manusia merupakan rezeki dan dengan hal-hal tersebut tercipta dorongan
manusia untuk berusaha. Setelah manusia berusaha dan mendapatkan hasil, maka
harus diiringi dengan sifat qana’ah atau merasa puas dengan apa yang diperoleh.
c.
Mengantarkan rezeki kepada orang lain
Dalam
rangka meneladani asma Allah al Razzaq sudah sepatutnya manusia menjadi
penyebab sampainya rezeki yang ia terima kepada orang lain. Semakin banyak
orang memberikan rezeki yang ia peroleh kepada orang lain, maka ia semakin
meledani sifat al Razzaq Allah Swt. Meskipun demikian alQuran tidak
menganjurkan seseorang untuk memberikan seluruh rezeki yang diperolehnya yang
bersifat materi kepada orang lain. Dalam hal ini Allah Swt berfirman: “Hai
orangorang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang
telah Kami berikan kepadamu (QS. Al Baqarah(2):254)
Ayat
tersebut juga mengisyaratkan bahwa
hendaklah sebagian rezeki yang kita peroleh untuk ditabung untuk biaya-biaya
yang tidak terduga. Adapun untuk rezeki yang bersifat non fisik seperti ilmu pengetahuan,
maka tidak ada kewajiban menyimpannya. Karena ilmu pengetahuan semakin
diberikan, maka semakin bettambah bukan berkurang.
C.
AL-MALIK
1. Pengertian
al-Malik
AlMalik secara umum diartikan dengan
kata raja atau penguasa. Kata alMalik terdiri dari huruf Mim Lam Kaf yang
rangkaiannya mengandung makna kekuatan dan
Keshahihan. Kata alMalik di dalam alQur’an terulang sebanyak lima kali
dan biasanya diartikan dengan arti raja. Dua dari ayat tersebut disandingkan
kepada kata al- Haq yang berarti pasti dan sempurna. Hal ini karena kerajaan
Allah Swt abadi dan sempurna tidak seperti kerajaan manusia. Hal ini terlihat
dalam firman Alllah Swt : "Maka Maha Tinggi Allah raja yang
sebenarbenarnya" (QS. Thaha (20):114)
Imam al-Ghazali menyatakan kata alMalik
menunjukkan bahwa Allah Swt tidak membutuhkan kepada segala sesuatu melainkan
segala sesuatu membutuhkan diriNya. Tidak hanya itu bahkan segala wujud yang
ada di muka bumi ini bersumber darinya dan ia menjadi pemilik bagi seluruh
wujud tersebut. Dengan demikian Allah Swt adalah raja sekaligus pemilik.
Kepemilikan Allah Swt sangat berbeda dengan kepemilikan manusia. Kepemilikan
manusia terbatas sementara kepemilikan Allah Swt tidak terbatas. Sebagai misal
bisa saja manusia memiliki mobil hanya saja dengan kepemilikannya tersebut ia
memiliki keterbatasan. Tidak mungkin seseorang dengan senagaja menabrakan
mobilnya. Sebab apabila ia melakukan hal ini, minimal kecaman akan ia peroleh
karena manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara ini tidak berlaku bagi Allah Swt
karena Allah Swt tidak dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatanNya. Allah
Swt juga sebagai raja. Raja berarti Dzat
yang memiliki hak mengatur terhadap diriNya maupun sosok lain dengan kekuatan
dan kekuasaannya. Manusia bisa saja menjadi raja tetapi tidak dapat menjadi
raja yang mutlak karena hal tersebut hanya milik Allah Swt.
2. Meneladani
Allah dengan sifat al-Malik
a. Manusia memiliki keterbatasan kepemilikan terhadap sesuatu
Dengan
asma Allah Swt alMalik ini seharusnya
manusia sadar bahwa dirinya
terbatas. Bukan hanya itu harta benda yang mereka miliki juga terbatas, baik
terbatas jumlahnya atau terbatas pemakaiannya. Manusia hanya bisa memakai harta
yang ia milikidi dunia saja. Demikian pula kepemilikan yang ia miliki juga
terbatas. Seseorang bisa saja memiliki karyawan tetapi ia hanya dapat menguasai
sisi lahiriah dari karyawannya tersebut. Ia tidak dapat menguasai sisi
bathinnya.
b. Bersyukur terhadap nikmat Allah.
Mensyukuri
nikmat Allah yang telah diberikan kapada manusia merupakan bentuk pengamalan
dari penghayatan seseorang terhadap asama Allah Swt alMalik. Seseorang akan
sadar bahwa pemilik sebenarnya bagi segala sesuatu adalah Allah Swt. Oleh
karena itu ketika seseorang sudah berusaha dengan maksimal lalu ia memperoleh
rezeki, maka ia akan mensyukuri rezeki itu. Ia tidak akan mengumpat atau
mencaci orang lain karena ia sadar bahwa Allah Swt adalah pemilik
sejatinya.
D. AL-HASIB
1. Pengertian
al-Hasib
AlHasib
secara etimologi berasal dari kata hasiba dengan tiga huruf Arab ha, sin dan
ba. Setidaknya terdapat empat kata dalam bahasa Arab, yaitu menghitung,
mencukupkan, bantal kecil dan penyakit yang menimpa kulit shingga kulit menjadi
putih. Hanya saja makna ketiga dan keempat dari kata alHasib tidak mungkin
dilekatkan kepada Allah Swt. Dalam al Quran kata alHasib disebutkan empat
kali. Tiga terkait dengan Allah Swt dan satu terkait dengan manusia. Dua ayat
yang terkait dengan Allah Swt dapat diartikan dengan Dzat yang memberi
kecukupan. Di antaranya terdapat dalam firman Allah Swt: “Dan cukuplah Allah
sebagai Pembuat perhitungan”(QS. Al Ahzab(33):39) Imam al-٩ٗ Ghazali mengartikan alHasib dengan Dia
yang mencukupi siapa saja yang mengandalkan diriNya. Sifat ini hanya milik
Allah karena tidak ada satu makhlukpun di dunia ini yang dapat mencukupi
kebutuhan orang lain. Menurut alGhazali rezeki yang diberikan oleh Allah
Swt kepada bayi sesungguhnya karena
AlHasibnya Allah Swt. Allahlah yang mencukupi kebutuhan bayi dengan menciptakan
ibu yang menyusui, air susunya dan instink serta keinginan untuk menyusui.
AlHasib dapat diartikan juga dengan
menghitung. Jika kata AlHasib dikaitkan dengan makna menghitung, maka Allah
adalah Dzat yang melakukan perhitungan, baik menghitung amal baik dan buruk
seorang manusia dengan cermat dan teliti sehingga tidak ada yang terleps
sedikitpun. Terkadang kata alHasib juga
dapat diartikan sebagai pemberi perhitungan
2. Meneladani
Allah dengan sifat al-Hasib
a. Tenang
dan tentram bersama dengan Allah Swt. Seseorang yang memaknai alHasib sebagai
Dzat yang memberi kecukupan, maka ia akan nyaman dan tentram. Ia tidak akan
terganggu oleh bujuk rayu setan lalu menjadi sekutunya dan ia tidak akan sedih
saat harus kehilangan sesuatu, baik berupa materi atau kesmpatan karena ia
yakin dirinya sudah merasa cukup dengan adanya Allah Swt. Allah Swt berfirman:
“Dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah
Sebaikbaik Pelindung”.(QS. Ali Imran(3):173)
b. Melakukan amal shalih semata-mata karena Allah. Seseorang yang memaknai alHasib dengan
makna perhitungan, maka ia akan meyakini sesungguhnya Allah Swt akan menghitung
amal shalih setiap manusia. Bagi yang meneladaninya, maka terlebih dahulu ia
akan sepenuhnya menyadari bahwa hanya Allah Swt yang memberinya kecukupan.
Dengan demikian segala yang ia lakukan ditujukan semata-mata karena Allah Swt.
Selain itu segala kehendak yang ia
lakukan pasti harus sesuai dengan kehendakNya. Hal ini dilakukan karena ia
yakin Allah Swt telah mencukupkan kebutuhannya.
E. AL-HADI
1. Pengertian
al-Hadi
Secara
etimologi kata alHadi diambil dari akar kata hadaya, yaitu huruf ha, dal dan
ya. Ia dapat diartikan dengan penunjuk jalan karena ia selalu berada di depan
memberi petunjuk. Tongkat bagi orang-orang tertentu misalnya orang buta dapat
dikatakan sebagai alHadi karena ia digunakan mendahului kakinya sebagai
petunjuk ke mana kaki harus melangkah. Selain itu alHadi juga dapat berarti
menyampaikan dengan lemah lembut. Dari makna ini terlahir istilah hadiah karena
hadiah biasanya disampaikan dengan kelembutan sebagai bentuk simpatik seseorang
pada orang lain. Dari kata tersebut juga terlahir kata alhadyu yang berarti
binatang yang disembelih di baitullah sebagai persembahan. Dalam al-Qur’an kata
alHadi yang diserta dengan alif dan lam tidak ada. Kata yang ada Hadi tanpa
alif dan lam sebanyak tiga kali seperti firman Allah SWT “Sesungguhnya
Allah adalah pemberi petunjuk bagi orangorang yang beriman kepada jalan yang
lurus”(QS. Al Haj(22):54) Allah Swt sebagai Al Hadi berarti Allah Swt yang
menganugerahkan petunjuk. Petunjuk Allah Swt kepada manusia bermacam-macam
sesuai dengan kebutuhan manusia itu sendiri.
2. Meneladani
Allah dengan sifat al-Hadi
a. Meyakini bahwa petunjuk Allah Swt banyak
sekali Di dalam kehidupan di dunia, manusia sangat membutuhkan petunjuk.
Petunjuk yang dibutuhkan sangat banyak dan ia harus yakin bahwa Allah Swt
memiliki petunjuk-petunjuk itu. Agama mensyariatkan shalat hajat dan istikharah
karena semata-mata manusia memerlukan eksistensi petunjukNya. Dengan demikian
ketika seseorang melaksanakan shalat hajat atau istikharah, maka secara tidak
langsung ia meminta petunjuk kepada Allah Swt Dzat yang memiliki
petunjukpetunjuk tersebut.
b. Memberikan petunjuk kepada orang lain dengan sungguh-sungguh dan tanpa pamrih. Bagi yang meneladani asma
Allah alHadi, maka ia akan memberikan petunjuk kepada orang lain dengan
sungguh-sungguh dan tanpa pamrih. Hal ini harus dilakukan karena Allah Swt
dalam memberikan petunjuknya kepada manusia tanpa didasari pamrih. Dengan
demikian orang yang memiliki ilmu berkewajiban menyampaikan ilmunya sebagai
petunjuk untuk membawa orang dari kegelapan menuju cahaya Allah Swt.
F. AL-KHALIQ
1. Pengertian
al-Khaliq
AlKhaliq secara etimologi berasal dari kata khalq atau khalaqa yang
berarti mengukur atau menghapus. Kemudian makna ini berkembang dengan arti
menciptakan dari tiada, menciptakan tanpa suatu contoh terlebih dahulu,
mengatur dan membuat. Kata Al Khaliq ditemukan delapan kali di dalam al Qur’an
dan merujuk kepada Allah Swt. Semenatra kata khalq dengan berbagai bentuknya
terulang 150 kali dan secara umum
mempertegas kehebatan dan kebesaran Allah Swt dalam ciptaanNya. Menurut
al-Ghazali meskipun kata AlKhaliq sama dengan AlBari’ yang berarti pencipta,
tetapi keduanya memiliki makna masing-masing. AlKhaliq berarti Allah Swt
mewujudkan sesuatu dengan ukuran yang ditetapkan. Sementara AlBari’ mewujudkan
dari tidak ada menjadi ada saja. Sedangkan Al Mushawwir Dzat yang memberi
rupa.
2. Meneladani Allah dengan sifat Al-Khaliq
a. Menciptakan hal-hal baru yang lebih inovatif.
Orang yang meneladani asma Allah Swt alKhaliq
dituntut untuk menciptakan hal-hal baru yang inovatif. Hal ini diperlukan
karena proses terciptanya sesuatu memerlukan pengetahuan dan kemampuan.
Pengetahuan dan kemampuan inilah yang harus diberdayakan dalam rangka
menghasilkan produk-produk yang baru yang inovatif. Dengan demikian umat Islam
yang dijuluki oleh al-Quran sebagai sebaik-baiknya umat akan senantiasa dinamis
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sepanjang masa.
b. Menyakini bahwa Allah Swt pencipta hakiki Di dalam al-Qur’an terkadang
ditemukan kata khalaqna(Kami menciptakan) yang berarti kami menciptakan. Di
sini tentu saja dapat dimaknai ada keterlibatan pihak lain dalam penciptaan.
Sementara ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi khalaqtu(Aku menciptakan)
berarti mutlak kuasa dan wewenang Allah Swt. Meskipun manusia memiliki peran
dalam penciptaan tetapi peran hakiki tetap milik Allah Swt. Dalam dunia
industri misalnya Allah Swt yang menciptakan bahan mentah dan Allah Swt juga
yang memberikan ilham sehinggga manusia dengan keinginan kerasnya dapat
menciptakan sesuatu
G. AL-HAKIM
1. Pengertian
al-Hakim
AlHakim
berasal dari akar kata hakama yang terdiri dari huruf ha, kaf dan mim yang
maknanya secara umum berarti menghalangi. Seperti kata hukum yang biasanya
digunakan untuk menghalangi penganiayaan seseorang pada orang lain. Selain itu
tali kendali yang digunakan untuk mengendalikan hewan. Di dalam bahasa Arab
disebut dengan hakamah karena seseorang yang mengendalikan hewan dapat menghalangi hewan yang bersangkutan untuk menuju arah yang
diinginkan. Demikian pula kata istilah hikmah yang digunakan untuk sesuatu yang
bijaksana yang apabila diperhatikan insya Allah seseorang akan selamat. Di
dalam al Qur’an kata AlHakim terulang 97 kali dan semuanya mengacu kepada
sifat Allah. AlHakim dipahami oleh mayoritas ulama Allah Swt sebagai Dzat yang
memiliki hikmah. Sementara hikmah berarti mengetahui hal yang paling asasi,
baik dari sisi pengetahuan atau perbuatan. Selain itu hikmah juga bisa
diartikan sesuatu yang apabila digunakan pelakunya tidak akan tertimpa
malapetaka, melainkan ia akan mendapatkan kebajikan yang besar. Oleh karena itu
beruntunglah orang-orang yang mendapatkan hikmah. Allah Swt berfirman: “Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah itu, maka benarbenar telah dianugerahi
karunia yang banyak”. (QS. AlBaqarah(2): 269) Imam al-Ghazali memahami kata
hakim sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama dan Allah adalah
hakim yang hakiki.
2. Meneladani
Allah dengan sifat al-Hakim
a. Memperdalam
ilmu pengetahuan Salah satu dari pengertian alHakim adalah orang yang memiliki
hikmah. Salah satu makna hikmah adalah ketika ia digunakan, maka seseorang akan
selamat. Untuk selamat pasti orang akan memilih jalan yang terbaik dan jalan
yang terbaik hanya dapat ditempuh oleh orang-orang yang berilmu. Di sini terlihat keutmaan orang yang berilmu
dan hal tersebut juga diapresiasi oleh al-Qur’an. Allah Swt berfirma.
Niscaya Allâh akan meninggikan
orangorang yang beriman di antara kalian dan orangorang yang diberi ilmu
beberapa derajat (QS. AlMujadilah(58): 11),
b. Bertindak profesional dalam hal apapun
Seorang muslim yang meneladani Allah Swt sebagai alHakim bukan hanya sekedar
memiliki ilmu sekedarnya saja, melainkan ia harus memiliki keahlian dan
profesionalaitas khususnya pada bidang-bidang tertentu sehingga ketika ia
mengukuhkan sesuatu tidak dilakukan dengan coba-coba. Selain itu langkahlangkah
yang akan dilakukan sudah tergambar dan menimbulkan kemaslahatan umum. Ketika ia
memberikan ceramah akan terlihat ceramah yang bermutu, efektif dan efisien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar