Minggu, 03 Juni 2018

BAB III MENGHINDARI AKHLAK TERCELA


BAB III
MENGHINDARI AKHLAK TERCELA
A.    NIFAQ

1.      Pengertian Nifaq
Nifaq berasal dari kata nafiqa yang berarti lubang tempat keluarnya  hewan sejenis tikus dari sarangnya. Ada yang berpendapat ia berasal dari kata  nafaq yaitu lobang tempat bersembunyi. Nifaq secara bahasa berarti ketidaksamaan antara lahir dan batin. Menurut Ibnu Rajab nifak secara bahasa bersinonim dengan kata mencela, berbuat makar dan menampakkan kebaikan serta menyembunyikan kejahatan. Orang yang melakukan perbuatan nifak disebut dengan munafik.  Menurut Ibnu Katsir munafik adalah orang yang keluar dari jalan kebenaran masuk ke jalan kesesatan. Karena itu Allah memperingatkan dengan firman-Nya:َ
Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Taubah(9): 67)
Perbuatan munafik sangat dibenci oleh Allah Swt dan rasulNya. Oleh karena itu orang munafik dijanjikan oleh Allah Swt mendapat balasan yang berat karena mereka melakukan perbuatan tidak islami, menebarkan kebencian dan kebatilan serta mengabaikan kebenaran. Orang munafik hanya berpikir demi kepentingan dan keinginan mereka tanpa memperhatikan kebenaran dan prinsip-prinsip yang luhur. Mereka telah menjual kejujuran dengan kesesatan dan makar.
2.      Bahaya            Orang Munafik
Menurut al-Qur’an Allah Swt telah mengingatkan kita mengenai perihal orang munafik dan memerintahkan agar kita menjauhi dan waspada terhadap perbuatan mereka. Allah Swt berfirman:
 “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah” (QS. Al Qalam(68):10­11)
Pengkhiatan yang dilakukan oleh orang-orang munafik sangat membahayakan. Allah Swt mengingatkan hal tersebut dan berfirman:
Jika mereka berangkat bersama­sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celahcelah barisanmu, untuk Mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang­orang yang Amat suka mendengarkan Perkataan mereka. dan Allah mengetahui orang­orang yang zalim”(QS. al Taubah(9):47)
Dalam hal ini seorang muslim harus melakukan antisipasi agar sifat nifak ini tidak muncul, mengungkap, tanggap mencari informasi dan memastikannnya agar tidak terperosok ke dalam permainan mereka. Allah Swt berfirman:
 “Hai orang­orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.(QS. Al Hujurat(49):6)
3.      Macam-macam nifaq Perbuatan nifak di dalam syariat terbagi menjadi dua:
a.       Pertama, nifaq akbar Nifak akbar  atau nifak besar ini adalah ketika seseorang menampakkan keimanannya kepada Allah Swt, para malaikat, kitab suci, rasul dan akhir, tetapi sebenarnya ia tidak percaya dan menolak dengan seluruh hal tersebut. Sifat nifak inilah yang dahulu ada di masa Rasulullah Saw dan Allah telah mencela mereka serta pelakunya kelak akan ditempatkan di neraka paling bawah. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali­kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. Al Nisa(4):145)
b.      Kedua,     nifak    asghar Nifak ashgar atau nifak kecil berarti manakala seseorang menampakkan secara jelas segala amal-amal yang baik(tidak termasuk di atas) hanya saja sesungguhnya ia tidak seperti itu bahkan bertolak belakang.
4.      Tanda-tanda Pelaku Nifak
Pelaku nifak disebut dengan munafik. Ciri-ciri orang munafik sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim  adalah sebagai berkut :
a.       Bila Berbicara, Ia berdusta Berdusta adalah berkata dengan tidak benar atau berbohong. Dalam ajaran Islam, perbuatan dusta atau berbohong sangat dicela. Di dalam Musnad Ahmad Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh besar pengkhianatanmu jika engkau mengatakan kepada saudaramu kejujuran sedangkan engkau berdusta kepadanya”(HR. Ahmad) Orang yang berdusta juga dianalogikan sebagai orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah. Rasulullah Saw bersabda: ”Sesungguhnya yang mengada­adakan kebohongan, hanyalah orang­orang yang tidak beriman kepada ayat­ayat Allah, dan mereka Itulah orang­orang pendusta.(QS. AlNahl(16): 105)
b.      Bila           Berjanji,           Ia         Tidak   Menepati Janji adalah ucapan yang menyatakan kesediaan atau kesanggupan untuk berbuat, melakukan sesuatu tetapi tidak ditepati. Mengingkari janji berarti tidak menepati kesediaan atau kesanggupan yang telah dibuat. Janji terbagi menjadi dua macam:• Pertama, seseorang berjanji tetapi ia meniatkan untuk tidak menepati janji tersebut. Ini merupakan akhlak yang  paling buruk. Allah Swt berfirman: “Dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah­sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah­sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”(QS. Al­Nahl(16): 91) • Kedua, jika seseorang berjanji kepada saudaranya dan ia sudah meniatkan akan menepati janjinya tetapi karena suatu hal ia tidak bisa menepatinya dan ia belum sempat memohon maaf atas pengingkarannya tersebut. Pengingkaran janji seperti ini tidak menjadi masalah karena hal tersebut terjadi tanpa unsur kesengajaan, Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda: Dari hadits Zaid bin Arqam, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Bila seorang lakilaki berjanji dan berniat menepatinya namun tidak dapat menepatinya, maka tidak apa­apa baginya (ia tidak berdosa).”(HR. Abu Daud dan al-Turmudzi)
c.       Bila Bertengkar,   Ia Berbuat Dosa Perbuatan dosa yang dilakukan dengan memutarbalikkan fakta di mana ia menjadikan yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar dan hal ini terjadi karena semata-mata timbul karena sifat dusta yang tertanam di dalam hati. Rasulullah Saw bersabda dari Abdullah: ِارَّ النَ لِى اِدْهَ يِرْوُجُفْ الَّنِ اَ وِرْوُجُفْ الَ لِى اِدْهَ يَبِذَكْ الَّنِاَ فَبِذَكْالَ وْمُاكَّيِا “Waspadalah terhadap sikap dusta, karena sesungguhnya ia akan menggiring seseorang untuk berbuat dosa dan perbuatan dosa akan menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka”(HR. Ahmad) Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda dari Yahya bin Rasyid :  َعِْنَ ي َّ تَ حِ الل َنِ مٍطْخُ سِ فْلَزَ يْمَ لُهُمَلْعَ يَوُهَ وٍلِطَ باِ فَمَاصَ خْنَم “Barang siapa yang memperdebatkan sesuatu yang bathil sedangkan ia mngetahuinya, niscaya ia akan terus berada di dalam murka Allah swt hingga ia menghentikan perbuatannya itu”(HR. Abu Daud)
d.      Bila Mengikat Perjanjian, Ia Mengingkari Allah Swt memerintahkan umat Islam agar melaksanakan amanah. Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”(QS. Al Isra(17):34)
Di dalam ayat lain Allah Swt berfirman: “Dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah­sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah­sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.(QS. Al Nahl(16):91)
Pengingkaran terhadap perjanjian haram hukumnya, baik antara pihak muslim dengan muslim atau antara pihak muslim dengan golongan kafir(mu’ahadah). Perjanjian antara kaum muslimin wajib ditunaikan dan membatalkannya mendapatkan dosa yang besar. Perjanjian-perjanjian yang wajib ditunaikan seperti jual beli, pernikahan  dan lain-lain.
e.       Bila Diberi Amanah, Ia Khianat Khianat adalah mengingkari tanggung jawab,  berbuat tidak setia atau melanggar amanah yang sudah dibuat. Secara umum, khianat artinya mengingkari tanggung jawab yang telah dipercayakan, baik daang dari Allah maupun dari orang lain. Apabila seseorang diberi amanah, maka ia wajib melaksanakannya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. Al­Nisa(4)’:58) Khianat terhadap amanah merupakan salah satu sifat munafik sebagaimana firman Allah SWT, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia­Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami Termasuk orang­orang yang shalih. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia­Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang­orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada­Nya dan juga karena mereka selalu berdusta”.  (QS. Al­Taubah(9): 75­77)
1.      Akibat buruk   sifat     nifaq
Perbuatan nifaq adalah salah satu perilaku tercela, baik nifaq kecil maupun nifaq besar. Nifaq kecil merupakan jembatan menuju nifaq yang besar. Demikian pula perbuatan-perbuatan maksiat merupakan jembatan menuju kekufuran. perbuatan nifak akan mendatangkan keburukan baik bagi pelaku nifak itu sendiri ataupun bagi orang lain. 1. Bagi diri sendiri a. Tercela dalam pandangan Allah Swt.. 1) Hilangnya kepercayaan dari orang lain atas dirinya. 2) Tidak disenangi dalam pergaulan hidup sehari-hari 3) Mempersempit  jalan untuk memperoleh Rizki 4) Mendapat siksa yang berat di hari akhir 2. Bagi orang lain 1. Menimbulkan kekecewaan hati, merusak hubungan persahabatan dan dapat terjadi tindakan anarkis.2. Membuka peluang munculnya fitnah3. Mencemarkan nama baik keluarga dan masyarakat.
A.    KERAS HATI (PEMARAH)

1.      Pengertian  Keras Hati/ Ghadab (marah)
Ghadab secara etimologi berarti marah. Marah dalam pengertian ghadab bersifat negatif. Dalam kamus bahasa Indonesia marah berarti  merasa  atau perasaan tidak senang dan panas karena dihina  atau diperlakukan kurang baik dan lain sebagainya. Marah secara umum mengakibatkan terganggunya aktualisasi diri di dalam kehidupan dan marah merupakan penyakit jiwa yang ada di dalam diri manusia. Dalam hal ini terdapat hadis dari Abu Hurairah:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa seorang laki­laki berkata: “Berilah aku pesan”. Rasulullah Saw bersabad: “Jangan marah”. Laki­laki itu mengulang permintaannya agar Rasulullah  Saw memberinya pesan, namun Rasulullah Saw tetap bersabda: “Jangan marah”. (HR. Bukhari)
Marah adalah lawan kata dari ridha. Marah dari manusia berarti ada sesuatu yang telah merasuki hati mereka. Marah ada yang terpuji dan ada yang tercela. Marah yang tercela adalah marah padahal dirinya bersalah dan marah yang terpuji adalah marah karena kebenaran.
Adapun kemarahan dari Allah berupa pengingkaran Allah Swt kepada orang yang bermaksiat kepadanya lalu Ia menyiksanya. Al-Quran memerintahkan setiap muslim untuk menahan marah dan akan memperoleh ampunan dari Allah Swt. Allah Swt berfirman:  “Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang lebarnya (seluas) langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, yaitu orang yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang atau susah, dan orang­orang yang menahan amarah, dan bersikap pemaaf kepada manusia, dan Allah mencintai orangorang yang berbuat baik” (Q.S Ali Imran(3):133­134)
2.      Macam-macam Daya   Marah
Menurut al-Ghazali kekuatan marah terdapat pada jantung dan yang dimaksud dengan marah yaitu ketika darah yang berada di sekitar jantung mendidih dan tersebar ke seluruh pembuluh darah lalu naik ke atas tubuh sebagaimana api dan air yang mendidih saat di masak di tungku. Oleh karena itu ketika orang marah  darah akan naik ke atas wajah lalu wajah, mata dan kulit menjadi merah. Hal itu menggambarkan warna darah di baliknya sebagaimana kaca menggambarkan warna sesuatu yang bercermin padanya. Kondisi marah pada diri seseorang terbagi menjadi tiga: Tidak ada atau lemah, berlebihan dan sedang.
a.       Tidak Memiliki Daya Marah atau lemah
Kurang baik ketika seseorang tidak dapat marah atau memiliki tingkat kemarahan yang lemah. Dengan tingkat daya marah yang lemah seseorang akan  memiliki harga diri yang rendah dan hina  yang berdampak pada tidak melakukan tindakan apa-apa atau hanya diam terhadap hal-hal yang haram atau hal-hal yang bersifat munkar. Hal ini digambarkan oleh al-Qur’an dalam masalah perzinahan. Allah Swt berfirman: “Perempuan yang berzina dan laki­laki yang berzina, Maka deralah tiap­tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang­orang yang beriman”.(QS. Al­Nur(24):2)
Pengertian janganlah belas kasihan kepada keduanya berarti tetap bersifat keras atau tidak lunak terhadap masalah perzinahan. Para sahabat nabi dijuluki oleh al Quran adalah orang-orang yang keras dan keras itu dalam arti dapat marah jika diperlukan. Allah Swt berfirman: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang­orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan­Nya, tandatanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat­sifat mereka dalam Taurat dan sifat­sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang­orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang­orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. Al­ Fath(49):29
b.      Daya Marah yang Berlebihan
Daya marah berlebihan adalah daya marah yang keluar dari diri seseorang sehingga seseorang  keluar dari kontrol akal dan agama. Saat seseorang marah seperti ini, maka nurani dan daya pikir warasnya sudah hilang. Di sini seseorang memiliki posisi seperti orang yang berada di dalam posisi terpaksa yang tidak memiliki pilihan lain untuk melakukan tindakan kecuali mengikuti hawa nafsunya.
Posisi marah seperti ini tentu saja bersifat negatif dan memiliki  dampak terhadap anggota tubuh sebagai berikut:
1)      Pertama, jasad Jasad atau badan orang yang marah akan berubah warna menjadi merah, seluruh tubuhnya gemetar, muncul perbuatan-perbuatan yang tidak beraturan dan terkendali serta gerakan dan pembicaraan yang tidak semestinya. Perubahan tersebut muncul dari bathin menuju fisik.
2)      Kedua, lisan Akibat marah, maka melalui lisan akan muncul cacian dan pembicaraan yang buruk yang malu apabila pembicaraan tersebut di dengar oleh orang yang waras. Demikian pula oleh yang bersangkutan ketika kondisi marahnya sudah mereda yang disertai dengan pembicaraan dan ungkapan yang tidak beraturan.
3)      Ketiga, Anggota tubuh lain Pengaruh atau akibat marah pada anggota tubuh lainnya akan muncul pukulan, hantaman, merobek, pukulan bahkan pembunuhan. Seseorang terkadang merobek baju, menampar wajar, memukul tanah, memecahkan kaca, mencaci-maki hewan seperti orang yang sudah tidak waras.
4)      Keempat, hati Dampak yang terjadi kepada hati adalah sifat dengki, iri hati, menyimpan dendam dan umpatan, kesedihan, niat untuk mengungkap keburukan sosok yang dimarahi, membuka aib dan mengolok-olok. c.        Daya    Marah  Sedang Tidak memiliki daya marah atau lemah dan memiliki daya marah berlebihan tidak diinginkan oleh agama. Allah Swt dan rasulNya menginginkan seseorang tetap memiliki daya marah tetapi tidak berlebihan diistilahkan dengan daya marah sedang.Daya marah sedang adalah daya marah yang muncul yang masih berada di dalam kontrol akal dan agama. Daya marah sedang adalah daya marah yang muncul ketika memang harus muncul dan redup ketika memang harus tidak marah atau mengedepankan kesabaran. Menjaga posisi marah dalam kondisi sedang adalah anjuran yang disarankan oleh agama di mana sebaik-baiknya hal bersifat tengahtengah.
3.      Mengobati Perilaku Keras Hati (Pemarah)
Imam al-Ghazali menyatakan terdapat beberapa hal untuk mengobati daya marah yang memuncak tersebut yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, yaitu sebagai berikut:
a.       Mengingat Keutamaan Menahan Amarah Agar seseorang dapat mengendalikan emosi atau daya marahnya, maka hal yang harus dilakukan adalah dengan mengingat keutamaan menahan marah, memaafkan dan sabar. Ia harus berfikir bahwa dengan menahan emosi, maka ia akan mendapatkan pahala dan tidak dendam akan menghindari diri dari neraka. Selain itu menahan emosi merupakan ciri khas orang yang bertakwa. Allah Swt berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang­orang yang bertakwa,Orangorang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang­orang yang berbuat kebajikan ”(QS. Al­ Imran(3):133­134)
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang dapat menahan emosi termasuk orang yang bertakwa. Orang yang demikian kelak mendapat balasan surge di akhirat. Pernah suatu hari Sayyidina Umar didatangi oleh sesorang ‘Arabi. ‘Arabi ini berkata kepadanya: “Wahai amirul mukminin! Demi Allah engkau  tidak berlaku adil melainkan engkau hanya bersikap tegas. Saat itu Umar marah dan orang ‘Arabi mengetahuinya lalu ia berkata: Wahai amirul mukminin bukankah engkau pernah mendengar firman Allah Swt :” Maafkan dan perintahkanlah kebaikan serta berpalinglah dari orang bodoh”. Aku adalah orang bodoh. Setelah itu Umar terdiam dan memafkannya.
b.      Takut        Akan   Siksa    Allah Untuk bisa meredam emosi seseorang harus takut pada azab dari Allah Swt apabila ia meneruskan emosinya. Seseorang harus yakin bahwa tidak mungkin ia akan selamat dari siksa neraka apabila ia tidak mempersiapkan diri dari sekarang. Oleh karena itu saat seseorang meminta wasiat kepada Rasulullah Saw, maka pesannya hanya satu, yaitu jangan marah. Rasulullah Saw bersabda: “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang laki­laki berkata kepada Nabi SAW: “Berilah wasiat kepadaku”. Sabda Nabi SAW : “Janganlah engkau marah”. Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau: “Janganlah engkau marah”.(HR. Bukhari)
c.       Waspada  terhadap Dampak dari Emosi Seseorang harus berfikir keras bahwa emosi dapat menimbulkan akibat yang berkepanjangan. Akibat-akibat tersebut muncul disebabkan oleh emosi seseorang yang tidak terkendali. Di antara akibat tersebut seperti permusuhan, dendam, orang yang terkena marah akan menantang atau melakukan  upaya untuk menghancurkan tujuan dan cita-citanya serta menimpakan musibah. Seseorang harus takut terhadap halhal seperti ini, khususnya yang terjadi di dunia apabila seseorang lupa terhadap hukuman yang kelak diberikan terhadap orang yang tidak dapat mengontrol emosinya di akhirat.
d.      Wajah       Buruk  Orang  yang    Marah Dalam Islam orang yang kuat bukanlah orang yang memiliki postur tubuh kuat dan kekar, melainkan orang yang mampu melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda: “Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuatadalah  orang yang dapat mengendalikan dirinya(menahan hawa nafsu) ketika marah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Seseorang yang marah harus membayangkan bagaimana buruknya fisik orang yang sedang emosi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membayangkan ketika seseorang melihat orang lain sedang marah. Ia harus berfikir betapa orang yang sedang emosi sesungguhnya memiliki buruk rupa yang tidak disadari sama seperti melihat hewan-hewan yang sedang marah.  Sebaliknya Ia juga harus membayangkan bagaimana emosi yang ada digantikan dengan kesabaran sebagaimana dilakukan oleh para nabi dan ulama ketika mereka mendapat perlakuan tidak senonoh dari umatnya. Dengan demikian seseorang dapat memilih yang terbaik yaitu mengikuti para nabi dan ulama. Untuk menghindari emosi selain didasarkan pada ilmu penegtahuan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat dilakukan dngan tindakan atau mal shaleh.
Menurut al Ghazali ketika daya marah atau emosi seseorang mulai memuncak, maka ia harus mengupayakan diri untuk: Pertama, membaca ta’awudz  Taawudz adalah memohon perlindungan kepada Allah Swt dari tipu daya syaitan yang selalu membangkitkan emosi). Rasulullah SAW. mengajarkan untuk mengatasi rasa amarah yang ada di dalam diri dengan berta’awudz. Emosi yang memuncak umumnya  disertai dengan bisikan dan tipu daya setan. Hal ini dapat mengakibatkan manusia tersesat dan terjerumus serta mendapatkan murka Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al­A’raf (7) : 200). Kedua, merubah posisi Apabila emosi seseorang sudah mulai naik, maka sebaiknya ia meribah posisinya.  Apabila berada pada posisi berdiri, maka hendaklah ia merubah posisi dengan posisi duduk dan apabila pada posisi duduk, maka hendaklah dengan  menidurkan dirinya. Dalam hal ini  dari Abu Dzar Rasulullah Saw bersabda:“Jika salah seorang diantara kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri maka hendaklah dia duduk (hal itu cukup baginya), jika marahnya reda. Namun, jika marahnya tidak reda juga maka hendaklah dia berbaring.” (HR. Abu Daud). Ketiga, berwudhu Selain itu seseorang mengupayakan untuk berwudhu apabila emosi atau daya marah mulai naik karena emosi  berasal dari api dan api dapat padam hanya ا َdengan air. Dari Athiyah Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya kemarahan berasal dari setan, setan itu diciptakan dari api, dan api itu hanya dapat dipadamkan dengan air, karena itu jika salah seorang dari kalian marah, maka hendaklah ia mengambil air wudhu”. (HR. Imam Ahmad).   
Selain itu Rasulullah Saw memerintahkan untuk menempelkan diri ke tanah tujuannya agar kita menyadari bahwa pada hakikatnya manusia itu hina, sehingga dengan demikian dapat menghilangkan kesombongan dan keangkuhan yang ada di dalam diri. Rasulullah Saw bersabda: Dari Abu Said Al-Khudry ia bekata: Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya kemarahan itu adalah percikan api yang menyala di dalam hati manusia, tidakkah kalian memperhatikan (orangorang yang marah) kedua matanya memerah dan raut wajahnya mengerut? Jika salah seorang diantara kalian merasakan hal itu maka hendaklah ia menempelkan diri ke tanah.” (HR. Imam Ahmad). Keempat, diam Diam itu emas barang kali ungkapan yang tepat. Dengan diam bukan berarti seseorang takut atau tidak memiliki daya marah. Diam merupakan obat mujarab untuk meredam emosi karena orang yang sedang dalam posisi emosi perkataan yang keluar berupa kata-kata kotor yang tidak baik. Hal ini terjadi disebabkan oleh tidak terkontrolnya lisan yang ditimbulkan dari dorongan nafsu dan  pengaruh setan . Dalam hal ini Rasulullah Saw mengemukakan hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:  “ Ajarkanlah mereka dan mudahkanlah dan jangan kalian persulit Jika salah seorang diantara kalian marah maka hendaklah ia diam.” (HR. Imam “Sapapun yang menahan amarah padahal sesungguhnya ia mampu melampiaskannya, maka  Allah akan memanggilnya kelak di hadapan para makhluk di hari kiamat dan Allah Swt memerintahkannya untuk memilih bidadari (terbaik) yang ia inginkan” (H.R Abu Dawud, al­Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad) Kelima, memberi maaf Dalam memberi maaf diperlukan kesadaran dan kebesaran hati. Sebagai seorang muslim wajib hukumnya memberi maaf baik dirinya yang bersalah atau orang lain. Allah memerintahkan agar memberikan maaf dengan ikhlas. Allah Swt berfirman :
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang­orang yang zalim”. (Q.S. Al­Syura(42) : 40).








1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum, maaf kak saya mohon izin mengambil materi akidah akhlak ini untuk tugas sekolah🙏

    BalasHapus