BAB
VII
MENGHINDARI
AKHLAK TERCELA
1. Pengertian
Fitnah
Fitnah
dalam bahasa Arab memiliki beberapa arti. Di antaranya adalah ujian. Hal ini
dapat diambil dari firman Allah Swt:
Tiaptiap yang
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenarbenarnya). dan hanya kepada (kamilah kamu
dikembalikan”(QS. AlAnbiya(21):35.
Fitnah
juga dapat berarti jatuh di dalam hal yang tidak diinginkan. Hal ini terdapat
di dalam firman Allah SWT
“Di antara mereka
ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan
janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa
mereka telah terjerumus ke dalam fitnah dan Sesungguhnya Jahannam itu
benar-benar meliputi orang-orang yang kafir (QS. AlTaubah(9):49
Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
“Berperang
dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat
fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak hentihentinya
memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada
kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya”(QS. Al Baqarah (2):217).
Sementara
dalam kamus bahasa Indonesia adalah perkataan yang bermaksud menjelekkan orang
lain.
Kata
fitnah yang dimaksudkan di sini tentu saja maksudnya adalah perkataan (tanpa
dasar) yang dilancarkan untuk menjatuhkan atau merendahkan martabat seseorang.
Fitnah berintikan kebohongan yang diciptakan untuk membunuh karakter (character
assassination) seseorang karena ada sebab-sebab tertentu. Dalam pandangan Yusuf
al Qaradhawi pelaku fitnah adalah orang-orang yang menyiksa umat Islam
serta menyakiti para dainya. Pelaku fitnah juga adalah orangorang yang
menyusupkan keyakinan-keyakinan yang sesat, prinsip-prinsip yang merusak kepada
agama.
2. Motivasi
melakukan fitnah
a. Mencari
Harta Duniawi
seseorang melakukan perbuatan fitnah di
antaranya karena dengan memfitnah ia berharap mendapatkan uang. Jadi imbalan
harta itulah yang menjadikan seseorang melakukan perbuatan fitnah.
Rasulullah Saw
tidak menyukai perbuatan fitnah yang memiliki motivasi harta dan mengancam
pelakunya. Dari Hudzaifah R.A. berkata: Rasulullah Saw bersabda:
”Bergegaslah
(menghindari)perbuatan-perbuatan fitnah seperti memutus malam yang gelap. Di
pagi hari seseorang beriman dan di sore hari menjadi kafir atau di sore hari
beriman dan di pagi hari menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan harta
dunia”(HR. Bukhari-Muslim).
b. Menjerumuskan
orang ke dalam neraka
Seseorang
termotivasi melakukan fitnah karena ia ingin banyak orang tersesat dan
terperangkap ke dalam pusaran fitnah dan pada akhirnya akan masuk ke dalam
neraka. Dahulu Rasulullah Saw memiliki spionase yang bernama Hudzaifah bin
alYaman yang diberikan tugas untuk mengawasi perbuatan fitnah yang dilakukan
oleh orang-orang munafik.
Suatu
hari Hudzaifah berkata: “Banyak sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw
mengenai halhal yang baik, sementara aku bertanya mengenai halhal yang buruk
karena aku takut akan menjumpai halhal tersebut. Ia berkata: “Aku bertanya
kepada Rasulullah Saw: Sesungguhnya kita sdang berada di masa jahiliyah yang
identik dengan keburukan. Allah Swt telah mendatangkan kebaikan kepada kita,
maka apakah setelah kebaikan ini datang lalu muncul keburukan? Rasulullah Saw
berkata: Yah! Aku berkata: Apakah setelah keburukan itu muncul lalu datang
kebaikan kembali ? Rasulullah Saw menjawab:Yah dan di dalamnya terdapat
keburukan. Aku bertanya: Apakah bentuk keburukan tersebut? Rasulullah Saw
menjawab: Suatu kaum menjalankan sesuatu bukan dari sunahku dan mencari
petunjuk bukan berdasarkan petunjuk dariku kenali mereka dan ingkari. Aku
bertanya kembali lalu apakah setelah datangnya kebaikan ini akan datang
keburukan lainnya? Rasulullah Saw bersabda: Para penyeru kepada neraka Jahanam
dan barang siapa yang mengikutinya, maka ia akan terlempar ke dalamnya. Aku
berkata Wahai Rasulullah Saw beritahukan kami sifat mereka. Rasulullah Saw bersabda
: Mereka memiliki kulit seperti kita dan berbicara sama dengan lisan kita”.(HR.
Bukhar-Muslim).
c. Mencari
jabatan atau posisi tertentu
Seseorang berbuat fitnah terkadang termotivasi
untuk mencari kedudukan atau jabatan tertentu baik di masyarakat, lembaga,
instansi atau di tempat-tempat lainnya. Oleh karena itu al Qur’an mengingatkan
kepada kita agar waspada terhadap prilaku-prilaku orang-orang yang zalim yang
menyebarkan.
“Dan
janganlah kamu cenderung kepada orangorang yang zalim yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka, dan sekalikali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun
selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan”. (QS.
Hud(11):113).
3. Cara
menghindari perilaku fitnah
Pertama,
mengkaji dan mempelajari al-Qur’an. Untuk mengantisipasi terjadinya fitnah
sebaiknya seseorang banyak membaca dan mengkaji al Quran. Al-Qur’an adalah
pedoman yang dititipkan oleh Rasulullah
Saw kepada umatnya saat menjelang wafat. Selain itu di dalam al Quran banyak kisah yang
mengemukakan tentang perbuatan fitnah yang dapat dijadikan pelajaran bagi umat
Islam agar terhindar darinya.
Antisipasi ini pernah ditanyakan oleh sahabat
Ali kepada Rasulullah Saw. Suatu hari Sayyidina Ali bertanya kepada Rasulullah
Saw mengenai antisipasi dari perbuatan fitnah. Rasulullah Saw bersabda:
”Akan ada fitnah setelahku seperti memutus malam yang gelap gulita. Ali
berkata: Aku bertanya:Bagaimana jalan keluarnya wahai Rasulullah Saw?
Rasulullah Saw bersabda: Kitabullah (al Qur’an) karena di dalamnya terdapat berita
mengenai(orangorang) sebelum kalian dan berita mengenai (orangorang) setelah
kalian. AlQuran adalah hakim bagi kalian, yang memutuskan (perkara) yang tidak
mainmain. Siapa pun penguasa yang meninggalkannya, maka Allah Swt
menghancurkannya. Barang siapa yang mencari petunjuk kepada selain alQur’an,
maka Allah Swt menyesatkannya. AlQuran adalah tali Allah Swt yang kuat,
Pengingat yang bijaksana dan jalan yang lurus. Ia tidak dapat disesatkan oleh
hawa nafsu, tidak terperangkap dengan ucapan, tidak memiliki berbagai macam
pandangan, para ulama tidak merasa kenyang, orang yang bertakwa tidak pernah
bosan dengannya. AlQuran tidak
diciptkan dengan banyak penolakan dan tidak pernah habis keajaibannya. AlQuran
adalah kitab suci di mana makhluk Allah jin apabila mendengarnya berkata: “Kami
mendengar alQuran yang menakjubkan”. Barang siapa yang mengajarkan ilmu
alQuran, maka ia menang, barang siapa yang berkata dengannya, maka ia pasti
benar dan barang siapa yang berhukum dengannya, maka ia berlaku adil dan barang
siapa mengamalkannya, maka ia mendapatkan pahala dan barang siapa mengajak
kepadanya, maka ia mendapat petunjuk menuju jalan yang lurus” (HR.
al-Tirmidzi).
Kedua, meningkatkan keimanan Keimanan yang kokoh memiliki pengaruh besar dan memiliki
peran vital dalam menghadapi, mengatasi dan menyikapi berbagai peristiwa serta
ujian yang menimpah manusia.
(Yaitu)
orangorang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orangorang
yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, Maka Perkataan itu menambah
keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan
Allah adalah Sebaikbaik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan
karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apaapa, mereka
mengikuti keridhaan Allah. dan Allah mempunyai karunia yang besar.”( QS. Ali
Imran: 173174)
Ketiga,
Berdoa agar terhindar dari hal yang membahayakan
diri Orang beriman yang memahami hakekat kehidupan yang sebenarnya belum tentu
telah aman dari bahaya fitnah karena setan dan sekutunya menggoda meerka
sehingga orang yang beriman kelak akan lalai, jatuh dan terperosok ke dalam
fitnah dunia . Allah swt berfirman:
“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan Kami
(sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. dan ampunilah Kami Ya Tuhan kami.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.
AlMumtahanah(60) : 5)
Rasulullah
senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar berlindung kepada Allah Swt dari
berbagai bentuk fitnah yang merugikan manusia.
1. Pengertian
Namimah
Secara etimologi namimah (adu domba) berarti suara
pelan atau gerakan. Secara terminology namimah adalah membuat
perselisihan di antara pihak yang sebenarnya sepaham atau menarungkan
pihak-pihak yang sesungguhnya sepaham melalui ucapan.
Menurut al-Ghazali sesungguhnya namimah
bersifat luas yaitu dengan mengungkap sesuatu yang sesungguhnya tidak
seharusnya diungkap sehingga menimbulkan percekcokan di antara pihak-pihak yang
ada melalui ucapan, tulisan, perbuatan atau isyarat. Oleh karena itu bagi
seorang muslim sebaiknya merahasiakan segala sesuatu yang ia lihat dari diri
saudaranya kecuali apabila menceritakannya mengandung manfaat atau dalam rangka
menolak perbuatan maksiat seperti ketika seseorang melihat si A mengambil harta
si B, maka ia cukup menjadi saksi saja dan menjaga hak si A. Namimah atau mengadu domba haram hukumnya
berdasarkan al Qur’an dan hadis nabi.
Dalam
hal ini terkait dengan larangan mengadu domba terdapat dalam surat al-Lumazah:
Kecelakaanlah
bagi Setiap pengumpat lagi pencela” (QS. AlLumazah(104):1)
2. Hal-Hal
Yang Diinginkan Dari Perbuatan Mengadu
domba
a. Menginginkan
citra buruk melekat pada seseorang
Rasulullah SAW sangat membenci perbuatan mengadu
domba dan pelakunya kelak akan mendapat siksa, didalam hadist diceritakan
“Daripada
Abdullah bin Abbas ra dia berkata, Nabi SAW melewati dua kubur. Baginda lantas
bersabda, “Sungguh keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa
kerana perkara besar. Salah seorang dari keduanya tidak bertabir dari kencing.
Sedangkan yang satunya lagi, berjalan sambil namimah (suka mengadu domba).”
Baginda lantas mengambil pelepah kurma yang basah dan membelahnya menjadi dua
bahagian, lalu Baginda menancapkan di masingmasing kubur tersebut satu
belahan. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah. Mengapa anda melakukan hal
ini?” Baginda menjawab, “Semoga ia dapat meringankan siksaannya, selama
keduanya belum kering”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Tujuan
seseorang melakukan perbuatan adu domba di antaranya karena si pengadu domba
menginginkan seseorang memiliki citra negatif di tengah-tengah masyarakat. Hal
yang seharusnya ditutupi malahan dibicarakan kepada orang lain sehingga yang
mendapat cerita memiliki asumsi buruk tentang sosok yang diceritakan. Padahal
agama memerintahkan untuk menutupi aib saudaranya.
b. Menginginkan citra baik di mata seseorang
Orang yang mengadu domba terkadang
menginginkan dirinya senantiasa baik di mata orang lain. Misalkan si A akrab
dengan si pengadu domba. Hanya saja si A memiliki musuh si B. Agar hubungan si
pengadu domba tetap baik dengan si A, maka apa saja prilaku buruk si B
diceritakan kepada si A. Dengan demikian si A akan senantiasa memiliki simpati
kepada si pengadu domba. Perbuatan adu domba atau namimah di sini jelas sangat
tercela karena membiarkan permusuhan terjadi antara si A dan si b terus terjadi
bahkan semakin memperuncing masalah.
c. Memiiki
hobi mengadu domba orang lain
Di antara tujuan orang melakukan adu domba
adalah karena hobi. Seseorang tidak menginginkan adanya kedamaian di
lingkungannya. Oleh karena itu ia selalu saja mempengaruhi si A misalnya agar
bermusuhan dengan si B dengan menceritakan keburukan si B. Demikian sebaliknya.
d. Berlebihan
di dalam pembicaraan atau kebatilan
Dalam
berbicara sesungguhnya ada hal-hal yang memang patut dibicarakan, tetapi ada
hal-hal yang tidak patut dibicarakan. Dengan kata lain tidak semua yang kita
tahu harus kita bicarakan, tetapi yang kita bicarakan kita harus tahu manfaat
dan bahayanya. Itulah barangkali prinsip yang harus dipegang. Ada satu
pribahasa yang menyatakan keselamatan seseorang ada pada menjaga lisannya.
Dengan demikian tindakan berlebihan dalam berbicara atau kebatilan ini justru
yang dapat menghantarkan pada terjadinya adu domba antar pihak-pihak yang
semestinya menerapkan perdamaian.
3. Langkah-Langkah
Mengantisipasi Namimah
Tindakan
namimah atau mengadu domba pada umumnya terjadi di tengah masyarakat. Oleh
karena itu kita harus melakukan langkah-langkah agar terhindar dan tidak terjerumus
didalamnya.
Pertama,
tidak lagsung mempercayai gosip
Kabar
burung atau gosip kerap beredar di masyarakat. Agar tidak terperosok dan
terprovokasi, maka tindakan yang harus dilakukan adalah tidak segera percaya
kepada berita tersebut melainkan melakukan klasifikasi. Hal ini sesuai dengan
firman swt.
“Hai
orangorang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu(QS.AlHujurat(49):6)
Kedua,
Mencegah dan menasehati pembawa berita.
Amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan ajaran
agama. Sudah seharusnya sebagai seorang muslim memberanikan diri untuk mencegah
dan memberi nasehat kepada orang-orang atau pihak-pihak yang terindikasi
melakukan perbuatan namimah atau mengadu domba. Dengan demikian sebaikanya
pelaku namimah seharusnya dimarahi dan tidak dipercaya begitu saja
perkataannya.
Dari
Abu Sa’id al Khudri R.A., ia berkata:”Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
Siapa saja yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan
tangannya(kekuasaannya), apabila ia tidak mampu, maka dengan lisannya dan
apabila tidak mampu juga, maka dengan hatinya”(HR. Muslim)
Ketiga, memiliki asas praduga tak bersalah
Sebagai seorang muslim tidak boleh begitu saja
percaya terhadap berita yang belum jelas sumbernya. Oleh karena ketika ada
seseorang membawa berita dengan menceritakan keburukan si A misalnya, maka hal
pertama yang kita lakukan adalah berpegangan pada asas praduga tidak bersalah terlebih dahulu.
Hal ini perlu dilakukan agar kita tidak termasuk orang yang terkecoh d an
terjerumus di dalam pusaran namimah. Betapapun namimah akan membawa korbannya
pada kerusakan dan perpecahan yang dibenci oleh Allah Swt dan rasulnya.
1. Pengertian
Ghibah
Secara
bahasa, Ghibah berasal dari bahasa Arab dengan akar kata ghaba, yang berarti
tidak hadir atau sesuatu yang tertutup dari pandangan. Kata ghibah dalam bahasa
Indonesia berarti menggunjing yakni, menyebutkan kata-kata keji atau
meniru-niru suara atau perbuatan orang lain di belakang dirinya dengan tidak
berhadapan langsung dengan maksud untuk
menghinanya. Secara terminology ghibah berarti mengemukakan atau membicarakan
perihal orang lain yang apabila orang lain tersebut mendengarnya, maka ia tidak
menyukainya. Ghibah dapat mencakup hal fisik seperti mengemukakan seseorang
kurus, hitam, dekil dan bentuk fisik lainnya. Bisa juga terkait keturunan
misalnya mengemukakan tentang seseorang anak haram, anak pelacur atau anak
orang miskin. Begitulah pula yang
terkait dengan prilakunya misalnya pembohong, penipu dan sifat buruk lainnya.
Syaikh Jamaluddin al-Qasimi mengemukakan sesuatu dapat dikatakan ghibah ketika
ia berupa pengungkapan tentang seseorang yang bersifat mengejek. Oleh karena
itu ketika seseorang mengejek bukan dengan pembicaraan dengan gerak, isyarat
dan tulisan juga dapat dikatakan ghibah.
2. Dalil
tentang Ghibah
Al-Quran
sangat membenci prilaku ghibah, bahkan Allah Swt mengemukakan prilaku ghibah
sama seperti memakan daging mentah saudara sendiri yang sudah meninggal dunia.
Allah Swt berfirman:
“Hai
orangorang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purbasangka itu dosa. dan janganlah mencaricari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.” QS. Al Hujurat(49): 12).
Di
dalam satu hadits yang diriwiyatkan oleh Anas bin Malik diceritakan bahwa
Rasulullah Saw bersabda: “Ketika aku melakukan Mi’raj, aku berpapasan dengan
suatu kaum yang memiliki kuku berbentuk tembaga lalu mereka menggaruk wajah dan
tangan mereka. Setelah itu Rasulullah Saw bertanya? Siapa mereka wahai Jibril.
Jibril menjawab: Mereka adalah orangorang yang memakan daging manusia dan
mereka menjatuhkan harga diri orang lain”. Suatu saat Rasulullah Saw sedang
berbincang-bincang dengan para sahabatnya, Saat itu pula tercium aroma tidak
sedap. Para sahabatpun bertanya gerangan aroma apakah itu? Rasulullah Saw
bersabda: Itu adalah bau busuk orang-orang yang berbuat ghibah.
3. Motivasi
berbuat Ghibah
Ghibah Syaikh Jamaluddin al-Qasimi mengemukakan hal-hal yang dapat
membuat seseorang pada akhirnya berbuat ghibah:
Pertama,
Mengobati sakit hati. Biasanya seseorang ketika sakit hati akibat prilaku orang
lain, maka untuk mengobati sakit hatinya ia akan mengemukakan
perbuatan-perbuatan buruk orang lain tersebut. Hal tersebut dilakukan karena ia
merasa bahwa dengan mengemukakan aib orang lain, maka ia sudah merasa puas.
Prilaku seperti ini di saat kampanye pilpres sangat banyak terjadi. Oleh karena
itu sebaiknya para pendukung masingmasing harus dapat menjaga lisan masing
dengan tidak terprovokasi oleh pendukung lain.
Kedua, Mengikuti teman. Ghibah dapat
terjadi karena seseorang ikutikutan pada temannya. Biasanya ikut ikutan ini
terjadi karena apabila seseorang tidak mengikuti, maka ia akan dianggap tidak
setia kawan. Akhirnya seseorang akan berbuat ghibah karena mengedepankan
kesetiakawanan walaupun hal tersebut dilarang oleh agama.
Ketiga,
Kesombongan dan kebanggaan. Ghibah dapat terjadi karena seseorang akan merasa
bangga apabila ia sudah dapat mencaci seseorang di hadapan orang lain. Ia tidak
memiliki keinginan apaapa kecuali kebanggaan dan inilah yang membuat orang lain
akhirnya melakukan perbuatan ghibah.
Keempat, Iri hati. Iri hati biasanya terjadi
ketika ada seseorang yang senantiasa dipuji, dimuliakan dan dicintai oleh
masyarakat. Di sini ia berusaha untuk melenyapkan penghargaan yang diberikan
oleh masyarakat tersebut dengan mengemukakan keburukan orang yang bersangkutan.
Kelima,
Bergurau. Di media televisi atau di media sosial lainnya kita sering melihat
tayangan yang barangkali maksudnya adalah bergurau. Hanya saja gurauan tersebut
dapat menyakiti orang lain. Oleh karena itu sebaiknya perlu diperhatikan
bagaimana bergurau yang tidak membuat orang lain sakit hati.
Keenam,
Menyindir atau mencaci. Menyindir atau mencaci-maki orang lain dengan tujaun
menghina termasuk ke dalam perbuatan ghibah. Hal tersebut dilakukan biasa saja
terkait dengan fisik, keturunan, prilaku, perbuatan dan ucapan seseorang.
4. Cara
menghindari prilaku Ghibah
a. Ingat bahwa Allah Swt tidak menyukai ghibah
Perlu diketahui bahwa akhlak yang buruk dapat
diobati dengan ilmu dan amal shaleh. Dengan demikian untuk mengobati keinginan
melakukan ghibah, maka seseorang harus ingat bahwa ghibah tidak disukai oleh
Allah Swt karena orang yang melakukan ghibah berarti ia telah melakukan hal-hal
yang dilarang oleh Allah Swt. Apabila seseorang telah mengetahui dan percaya
mengenai ancaman bagi pelaku ghibah. Amak niscaya tidak akan melakukan
perbuatan tersebut.
b. Melakukan
Intropeksi diri
Hal
lain yang dapat memalingkan seseorang dari perbuatan ghibah adalah menyibukkan
diri dengan melakukan introspeksi terhadap diri sendiri. Ketimbang membicarakan
keburukan orang yang belum tentu kebenarannya, maka akan lebih baik merenungi
keburukan diri sendiri. Seandainya yang bersangkutan
memang memiliki aib atau keburukan diri, maka hendaklah yang terpikir adalah
bagaimana menghilangkan aib tersebut dari diri sendiri bukan mempertahankan aib
yang ada lalu mengumbar air orang lain. Apabila seseorang memang benar-benar
tidak memiliki aib atau kecacatan diri dalam berprilaku, maka yang harus
dilakukan asumsi kesucian diri tersebut salah.
c. Menyadari
bahwa ghibah menyakitkan
Di
antara hal yang dapat mencegah seseorang dari melakukan ghibah adalah
membayangkan bagaimana sakitnya perasaan orang yang bersangkutan seandainya
prilakunya yang kurang baik tersebut diceritakan kepada orang lain. Seseorang
harus sadar apabila hal tersebut menimpa ada dirinya. Tentu saja perasaannya akan
hancur. Sebagaimana dirinya tidak ingin merasakan sakit hati, maka hal yang
sama juga dialami oleh orang lain. Dengan demikian ia akan menghentikan
perbuatan ghibahnya/
5. Berburuk
sangka
Berburuk
sangka di dalam hati sama dengan membicarakan keburukan orang lain dengan
ucapan. Apabila melakukan ghibah diharamkan, maka berburuk sangka terhadap
orang lain di dalam hati juga haram. Oleh karena tidak boleh berburuk sangka di
dalam hati terhadap orang lain. Berburuk sangka dilarang karena ia akan
menghantarkan pada kecondongan hati asumsi buruk kepada orang lain.
Hai
orangorang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purbasangka itu dosa. dan janganlah mencaricari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.(QS. AlHujurat(49):12)
Selain
itu berburuk sangka dilarang karena hati
seseorang yang mengeathui hanya Allah Swt. Ketika seorang manusia sudah
meyakini keburukan pada diri orang lain padahal ia belum melihat dengan nyata
atau melihat dengan mata kepalanya sendiri, maka sesungguhnya hawa nafsu dan
setan sudah masuk dan mempengaruhi dirinya.
Oleh karena itu ketika terlintas di hatimu su’u dzan terhadap seseorang,
maka berusahalah untuk menepisnya dan meyakinkan diri bahwa sosok yang
bersangkutan adalah orang baik.
Hal
lain akibat dari buruk sangka adalah terjadinya tajassus atau mencari-cari
kesalahan orang lain yang dilarang oleh Allah Swt dan rasulNya.
6. Ghibah
yang di perbolehkan
Tidak
berarti seluruh keburukan orang lain yang diceritakan merupaakn perbuatan
ghibah terdapat beberapa hal yang diperbolehkan bagi kita untuk menceritakan keburukan
orang lain, yaitu:
Pertama,
Mengungkap kezaliman Yang dimaksud dengan mengungkap kezaliman adalah seperti
terdapat orang yang teraniaya oleh orang lain. Tidak mungkin bagi orang yang
teraniaya tersebut untuk diam saja. Tentu saja ktika pihak berwajib melakukan
intrograsi perihal penganiayaan yang terjadi pada dirinya, maka ia harus secara
terbuka menceritakan kejadian yang sebenarnya sehingga akan menjadi jelas
sesungguhnya apa yang sudah terjadi. Di sinilah seseorang boleh mengungkapkan
aib orang lain karena memang diperlukan.
Kedua,
Meminta fatwa Apabila terjadi suatu masalah di dalam rumah tangga, misalnya Seorang isteri ingin menanyakan
mengenai hukum yang terkait dengan kerumahtanggaan khususnya dalam hal
pemberian nafkah karena sudah beberapa minggu suami yang bersangkutan tidak
memberikan nafkah. Dalam hal ini tidak mungkin seorang isteri tidak
menceritakan aib suami, karena ketetapan hukum dalam masalah ini tidak akan
bisa tergambar tanpa penjelasan dari seorang isteri . Dalam hal ini
menceritakan iab seorang isteri dalam rangka meminta fatwa ukum dibolehkan.
Ketiga, memberi peringatan kepada orang lain
Terkadang seseorang memerlukan kesaksian orang lain demi kewaspadaan. Ketika
ada seseorang ingin bekerja misalnya, pihak yang ingin menerima tentu harus
mencari tahu tentang sosok yang bersangkutan, baik melalui teman dekat atau
melalui kepolisian. Dengan demikian pihak-pihak yang dimintakan informasi tentu
harus mengemukakan apa adanya perihal yang bersangkutan demi kebaikan pihak
penerima dikemudian hari.
Keempat, nampak dengan jelas cacatnya Dalam
suatu kesempatan terkadang seseorang
bertanya mengenai identiitas orang tertentu. Secara kebetulan orang yang
diperlukan ini memiliki cacat fisik yang sesungguhnya tidak boleh diungkapkan
karena barangkali apabila diungkapkan akan mnyinggung perasaan. Hanya saja
karena tidak ada lagi ciri-ciri yang bisa disebutkan kecuali dengan menyebutkan
fisik yang cacat tersebut, maka hal tersebut tidak menjadi masalah dan tidak
termasuk ghibah seperti meneybut seseorang buta atau pincang kakinya.
Kelima,
Memiliki prilaku buruk yang sudah diketahui luas Tidak mengapa seseorang
mengemukakan keburukan orang lain apabila keburukan tersebut sudah diketahui
oleh masyarakat umum, sebab hal tersebut sudah bukan menjadi rahasia lagi,
tetapi sudah menjadi konsumsi publik. Dengan demikian membicarakan perihal
seperti ini tidak termasuk ghibah yang dilarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar