Minggu, 03 Juni 2018

BAB VII Menghindari Akhlak Tercela


BAB VII
MENGHINDARI AKHLAK TERCELA
A.    FITNAH

1.      Pengertian Fitnah
Fitnah dalam bahasa Arab memiliki beberapa arti. Di antaranya adalah ujian. Hal ini dapat diambil dari firman Allah Swt:
Tiap­tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar­benarnya). dan hanya kepada (kamilah kamu dikembalikan”(QS. Al­Anbiya(21):35.
Fitnah juga dapat berarti jatuh di dalam hal yang tidak diinginkan. Hal ini terdapat di dalam firman Allah SWT
“Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah dan Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir (QS. Al­Taubah(9):49
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
“Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti­hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”(QS. Al­ Baqarah (2):217).
Sementara dalam kamus bahasa Indonesia adalah perkataan yang bermaksud menjelekkan orang lain.
Kata fitnah yang dimaksudkan di sini tentu saja maksudnya adalah perkataan (tanpa dasar) yang dilancarkan untuk menjatuhkan atau merendahkan martabat seseorang. Fitnah berintikan kebohongan yang diciptakan untuk membunuh karakter (character assassination) seseorang karena ada sebab-sebab tertentu. Dalam pandangan Yusuf al Qaradhawi pelaku fitnah adalah orang-orang yang menyiksa umat Islam serta menyakiti para dainya. Pelaku fitnah juga adalah orangorang yang menyusupkan keyakinan-keyakinan yang sesat, prinsip-prinsip yang merusak kepada agama.
2.      Motivasi melakukan fitnah
a.       Mencari Harta Duniawi
 seseorang melakukan perbuatan fitnah di antaranya karena dengan memfitnah ia berharap mendapatkan uang. Jadi imbalan harta itulah yang menjadikan seseorang melakukan perbuatan fitnah.
Rasulullah Saw tidak menyukai perbuatan fitnah yang memiliki motivasi harta dan mengancam pelakunya. Dari Hudzaifah R.A. berkata: Rasulullah Saw bersabda:
”Bergegaslah (menghindari)perbuatan-perbuatan fitnah seperti memutus malam yang gelap. Di pagi hari seseorang beriman dan di sore hari menjadi kafir atau di sore hari beriman dan di pagi hari menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan harta dunia”(HR. Bukhari-Muslim).
b.      Menjerumuskan orang ke dalam neraka
Seseorang termotivasi melakukan fitnah karena ia ingin banyak orang tersesat dan terperangkap ke dalam pusaran fitnah dan pada akhirnya akan masuk ke dalam neraka. Dahulu Rasulullah Saw memiliki spionase yang bernama Hudzaifah bin alYaman yang diberikan tugas untuk mengawasi perbuatan fitnah yang dilakukan oleh orang-orang munafik.
Suatu hari Hudzaifah berkata: “Banyak sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai hal­hal yang baik, sementara aku bertanya mengenai hal­hal yang buruk karena aku takut akan menjumpai hal­hal tersebut. Ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw: Sesungguhnya kita sdang berada di masa jahiliyah yang identik dengan keburukan. Allah Swt telah mendatangkan kebaikan kepada kita, maka apakah setelah kebaikan ini datang lalu muncul keburukan? Rasulullah Saw berkata: Yah! Aku berkata: Apakah setelah keburukan itu muncul lalu datang kebaikan kembali ? Rasulullah Saw menjawab:Yah dan di dalamnya terdapat keburukan. Aku bertanya: Apakah bentuk keburukan tersebut? Rasulullah Saw menjawab: Suatu kaum menjalankan sesuatu bukan dari sunahku dan mencari petunjuk bukan berdasarkan petunjuk dariku kenali mereka dan ingkari. Aku bertanya kembali lalu apakah setelah datangnya kebaikan ini akan datang keburukan lainnya? Rasulullah Saw bersabda: Para penyeru kepada neraka Jahanam dan barang siapa yang mengikutinya, maka ia akan terlempar ke dalamnya. Aku berkata Wahai Rasulullah Saw beritahukan kami sifat mereka. Rasulullah Saw bersabda : Mereka memiliki kulit seperti kita dan berbicara sama dengan lisan kita”.(HR. Bukhar-Muslim).
c.       Mencari jabatan atau posisi tertentu
 Seseorang berbuat fitnah terkadang termotivasi untuk mencari kedudukan atau jabatan tertentu baik di masyarakat, lembaga, instansi atau di tempat-tempat lainnya. Oleh karena itu al Qur’an mengingatkan kepada kita agar waspada terhadap prilaku-prilaku orang-orang yang zalim yang menyebarkan.
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang­orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali­kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan”. (QS. Hud(11):113).
3.      Cara menghindari perilaku fitnah
Pertama, mengkaji dan mempelajari al-Qur’an. Untuk mengantisipasi terjadinya fitnah sebaiknya seseorang banyak membaca dan mengkaji al Quran. Al-Qur’an adalah pedoman  yang dititipkan oleh Rasulullah Saw kepada umatnya saat menjelang wafat. Selain itu  di dalam al Quran banyak kisah yang mengemukakan tentang perbuatan fitnah yang dapat dijadikan pelajaran bagi umat Islam agar terhindar darinya. 
 Antisipasi ini pernah ditanyakan oleh sahabat Ali kepada Rasulullah Saw. Suatu hari Sayyidina Ali bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai antisipasi dari perbuatan fitnah. Rasulullah Saw bersabda: ”Akan ada fitnah setelahku seperti memutus malam yang gelap gulita. Ali berkata: Aku bertanya:Bagaimana jalan keluarnya wahai Rasulullah Saw? Rasulullah Saw bersabda: Kitabullah (al­ Qur’an)  karena di dalamnya terdapat berita mengenai(orang­orang) sebelum kalian dan berita mengenai (orang­orang) setelah kalian. Al­Quran adalah hakim bagi kalian, yang memutuskan (perkara) yang tidak main­main. Siapa pun penguasa yang meninggalkannya, maka Allah Swt menghancurkannya. Barang siapa yang mencari petunjuk kepada selain al­Qur’an, maka Allah Swt menyesatkannya. Al­Quran adalah tali Allah Swt yang kuat, Pengingat yang bijaksana dan jalan yang lurus. Ia tidak dapat disesatkan oleh hawa nafsu, tidak terperangkap dengan ucapan, tidak memiliki berbagai macam pandangan, para ulama tidak merasa kenyang, orang yang bertakwa tidak pernah bosan dengannya.  Al­Quran tidak diciptkan dengan banyak penolakan dan tidak pernah habis keajaibannya. Al­Quran adalah kitab suci di mana makhluk Allah jin apabila mendengarnya berkata: “Kami mendengar al­Quran yang menakjubkan”. Barang siapa yang mengajarkan ilmu al­Quran, maka ia menang, barang siapa yang berkata dengannya, maka ia pasti benar dan barang siapa yang berhukum dengannya, maka ia berlaku adil dan barang siapa mengamalkannya, maka ia mendapatkan pahala dan barang siapa mengajak kepadanya, maka ia mendapat petunjuk menuju jalan yang lurus” (HR. al-Tirmidzi).
Kedua,            meningkatkan  keimanan Keimanan yang kokoh memiliki pengaruh besar dan memiliki peran vital dalam menghadapi, mengatasi dan menyikapi berbagai peristiwa serta ujian yang menimpah manusia.
(Yaitu) orang­orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang­orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik­baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa­apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. dan Allah mempunyai karunia yang besar.”( QS. Ali Imran: 173­174)
Ketiga, Berdoa agar terhindar dari hal yang   membahayakan diri Orang beriman yang memahami hakekat kehidupan yang sebenarnya belum tentu telah aman dari bahaya fitnah karena setan dan sekutunya menggoda meerka sehingga orang yang beriman kelak akan lalai, jatuh dan terperosok ke dalam fitnah dunia . Allah swt  berfirman:
 “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan Kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. dan ampunilah Kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al­Mumtahanah(60) : 5)
Rasulullah senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar berlindung kepada Allah Swt dari berbagai bentuk fitnah yang merugikan manusia.
B.     NAMINAH

1.      Pengertian Namimah
Secara  etimologi namimah (adu domba) berarti  suara  pelan atau gerakan. Secara terminology namimah adalah membuat perselisihan di antara pihak yang sebenarnya sepaham atau menarungkan pihak-pihak yang sesungguhnya sepaham melalui ucapan.
 Menurut al-Ghazali sesungguhnya namimah bersifat luas yaitu dengan mengungkap sesuatu yang sesungguhnya tidak seharusnya diungkap sehingga menimbulkan percekcokan di antara pihak-pihak yang ada melalui ucapan, tulisan, perbuatan atau isyarat. Oleh karena itu bagi seorang muslim sebaiknya merahasiakan segala sesuatu yang ia lihat dari diri saudaranya kecuali apabila menceritakannya mengandung manfaat atau dalam rangka menolak perbuatan maksiat seperti ketika seseorang melihat si A mengambil harta si B, maka ia cukup menjadi saksi saja dan menjaga hak si A.  Namimah atau mengadu domba haram hukumnya berdasarkan al Qur’an dan hadis nabi.
Dalam hal ini terkait dengan larangan mengadu domba terdapat dalam surat al-Lumazah:
Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela” (QS. Al­Lumazah(104):1)
2.      Hal-Hal Yang Diinginkan Dari Perbuatan Mengadu domba
a.       Menginginkan citra buruk melekat pada seseorang
 Rasulullah SAW sangat membenci perbuatan mengadu domba dan pelakunya kelak akan mendapat siksa, didalam hadist diceritakan
“Daripada Abdullah bin Abbas ra dia berkata, Nabi SAW melewati dua kubur. Baginda lantas bersabda, “Sungguh keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa kerana perkara besar. Salah seorang dari keduanya tidak bertabir dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, berjalan sambil namimah (suka mengadu domba).” Baginda lantas mengambil pelepah kurma yang basah dan membelahnya menjadi dua bahagian, lalu Baginda menancapkan di masing­masing kubur tersebut satu belahan. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah. Mengapa anda melakukan hal ini?” Baginda menjawab, “Semoga ia dapat meringankan siksaannya, selama keduanya belum kering”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Tujuan seseorang melakukan perbuatan adu domba di antaranya karena si pengadu domba menginginkan seseorang memiliki citra negatif di tengah-tengah masyarakat. Hal yang seharusnya ditutupi malahan dibicarakan kepada orang lain sehingga yang mendapat cerita memiliki asumsi buruk tentang sosok yang diceritakan. Padahal agama memerintahkan untuk menutupi aib saudaranya.
b.      Menginginkan citra baik di mata seseorang
 Orang yang mengadu domba terkadang menginginkan dirinya senantiasa baik di mata orang lain. Misalkan si A akrab dengan si pengadu domba. Hanya saja si A memiliki musuh si B. Agar hubungan si pengadu domba tetap baik dengan si A, maka apa saja prilaku buruk si B diceritakan kepada si A. Dengan demikian si A akan senantiasa memiliki simpati kepada si pengadu domba. Perbuatan adu domba atau namimah di sini jelas sangat tercela karena membiarkan permusuhan terjadi antara si A dan si b terus terjadi bahkan semakin memperuncing masalah.
c.       Memiiki hobi   mengadu domba orang lain
 Di antara tujuan orang melakukan adu domba adalah karena hobi. Seseorang tidak menginginkan adanya kedamaian di lingkungannya. Oleh karena itu ia selalu saja mempengaruhi si A misalnya agar bermusuhan dengan si B dengan menceritakan keburukan si B. Demikian sebaliknya.
d.      Berlebihan di dalam pembicaraan atau kebatilan
Dalam berbicara sesungguhnya ada hal-hal yang memang patut dibicarakan, tetapi ada hal-hal yang tidak patut dibicarakan. Dengan kata lain tidak semua yang kita tahu harus kita bicarakan, tetapi yang kita bicarakan kita harus tahu manfaat dan bahayanya. Itulah barangkali prinsip yang harus dipegang. Ada satu pribahasa yang menyatakan keselamatan seseorang ada pada menjaga lisannya. Dengan demikian tindakan berlebihan dalam berbicara atau kebatilan ini justru yang dapat menghantarkan pada terjadinya adu domba antar pihak-pihak yang semestinya menerapkan perdamaian.
3.      Langkah-Langkah Mengantisipasi Namimah
Tindakan namimah atau mengadu domba pada umumnya terjadi di tengah masyarakat. Oleh karena itu kita harus melakukan langkah-langkah agar terhindar dan tidak terjerumus didalamnya.
Pertama, tidak lagsung mempercayai gosip
Kabar burung atau gosip kerap beredar di masyarakat. Agar tidak terperosok dan terprovokasi, maka tindakan yang harus dilakukan adalah tidak segera percaya kepada berita tersebut melainkan melakukan klasifikasi. Hal ini sesuai dengan firman swt.
“Hai orang­orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu(QS.Al­Hujurat(49):6)
Kedua, Mencegah dan menasehati pembawa berita.
 Amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan ajaran agama. Sudah seharusnya sebagai seorang muslim memberanikan diri untuk mencegah dan memberi nasehat kepada orang-orang atau pihak-pihak yang terindikasi melakukan perbuatan namimah atau mengadu domba. Dengan demikian sebaikanya pelaku namimah seharusnya dimarahi dan tidak dipercaya begitu saja perkataannya.
Dari Abu Sa’id al Khudri R.A., ia berkata:”Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Siapa saja yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya(kekuasaannya), apabila ia tidak mampu, maka dengan lisannya dan apabila tidak mampu juga, maka dengan hatinya”(HR. Muslim)
Ketiga,            memiliki asas   praduga tak bersalah
 Sebagai seorang muslim tidak boleh begitu saja percaya terhadap berita yang belum jelas sumbernya. Oleh karena ketika ada seseorang membawa berita dengan menceritakan keburukan si A misalnya, maka hal pertama yang kita lakukan adalah berpegangan pada  asas praduga tidak bersalah terlebih dahulu. Hal ini perlu dilakukan agar kita tidak termasuk orang yang terkecoh d an terjerumus di dalam pusaran namimah. Betapapun namimah akan membawa korbannya pada kerusakan dan perpecahan yang dibenci oleh Allah Swt dan rasulnya.
C.     Ghibah

1.      Pengertian Ghibah
Secara bahasa, Ghibah berasal dari bahasa Arab dengan akar kata ghaba, yang berarti tidak hadir atau sesuatu yang tertutup dari pandangan. Kata ghibah dalam bahasa Indonesia berarti menggunjing yakni, menyebutkan kata-kata keji atau meniru-niru suara atau perbuatan orang lain di belakang dirinya dengan tidak berhadapan langsung   dengan maksud untuk menghinanya. Secara terminology ghibah berarti mengemukakan atau membicarakan perihal orang lain yang apabila orang lain tersebut mendengarnya, maka ia tidak menyukainya. Ghibah dapat mencakup hal fisik seperti mengemukakan seseorang kurus, hitam, dekil dan bentuk fisik lainnya. Bisa juga terkait keturunan misalnya mengemukakan tentang seseorang anak haram, anak pelacur atau anak orang miskin. Begitulah  pula yang terkait dengan prilakunya misalnya pembohong, penipu dan sifat buruk lainnya. Syaikh Jamaluddin al-Qasimi mengemukakan sesuatu dapat dikatakan ghibah ketika ia berupa pengungkapan tentang seseorang yang bersifat mengejek. Oleh karena itu ketika seseorang mengejek bukan dengan pembicaraan dengan gerak, isyarat dan tulisan juga dapat dikatakan ghibah.
2.      Dalil tentang Ghibah
Al-Quran sangat membenci prilaku ghibah, bahkan Allah Swt mengemukakan prilaku ghibah sama seperti memakan daging mentah saudara sendiri yang sudah meninggal dunia. Allah Swt berfirman:
“Hai orang­orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba­sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba­sangka itu dosa. dan janganlah mencari­cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” QS. Al Hujurat(49): 12).
Di dalam satu hadits yang diriwiyatkan oleh Anas bin Malik diceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Ketika aku melakukan Mi’raj, aku berpapasan dengan suatu kaum yang memiliki kuku berbentuk tembaga lalu mereka menggaruk wajah dan tangan mereka. Setelah itu Rasulullah Saw bertanya? Siapa mereka wahai Jibril. Jibril menjawab: Mereka adalah orang­orang yang memakan daging manusia dan mereka menjatuhkan harga diri orang lain”. Suatu saat Rasulullah Saw sedang berbincang-bincang dengan para sahabatnya, Saat itu pula tercium aroma tidak sedap. Para sahabatpun bertanya gerangan aroma apakah itu? Rasulullah Saw bersabda: Itu adalah bau busuk orang-orang yang berbuat ghibah.
3.      Motivasi berbuat Ghibah
 Ghibah Syaikh Jamaluddin  al-Qasimi mengemukakan hal-hal yang dapat membuat seseorang pada akhirnya berbuat ghibah:
Pertama, Mengobati    sakit     hati. Biasanya seseorang ketika sakit hati akibat prilaku orang lain, maka untuk mengobati sakit hatinya ia akan mengemukakan perbuatan-perbuatan buruk orang lain tersebut. Hal tersebut dilakukan karena ia merasa bahwa dengan mengemukakan aib orang lain, maka ia sudah merasa puas. Prilaku seperti ini di saat kampanye pilpres sangat banyak terjadi. Oleh karena itu sebaiknya para pendukung masingmasing harus dapat menjaga lisan masing dengan tidak terprovokasi oleh pendukung lain.
Kedua,            Mengikuti teman. Ghibah dapat terjadi karena seseorang ikut­ikutan pada temannya. Biasanya ikut ­ikutan ini terjadi karena apabila seseorang tidak mengikuti, maka ia akan dianggap tidak setia kawan. Akhirnya seseorang akan berbuat ghibah karena mengedepankan kesetiakawanan walaupun hal tersebut dilarang oleh agama.
Ketiga, Kesombongan dan kebanggaan. Ghibah dapat terjadi karena seseorang akan merasa bangga apabila ia sudah dapat mencaci seseorang di hadapan orang lain. Ia tidak memiliki keinginan apaapa kecuali kebanggaan dan inilah yang membuat orang lain akhirnya melakukan perbuatan ghibah.
 Keempat, Iri hati. Iri hati biasanya terjadi ketika ada seseorang yang senantiasa dipuji, dimuliakan dan dicintai oleh masyarakat. Di sini ia berusaha untuk melenyapkan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat tersebut dengan mengemukakan keburukan orang yang bersangkutan.
Kelima, Bergurau. Di media televisi atau di media sosial lainnya kita sering melihat tayangan yang barangkali maksudnya adalah bergurau. Hanya saja gurauan tersebut dapat menyakiti orang lain. Oleh karena itu sebaiknya perlu diperhatikan bagaimana bergurau yang tidak membuat orang lain sakit hati.
Keenam, Menyindir atau mencaci. Menyindir atau mencaci-maki orang lain dengan tujaun menghina termasuk ke dalam perbuatan ghibah. Hal tersebut dilakukan biasa saja terkait dengan fisik, keturunan, prilaku, perbuatan dan ucapan seseorang.
4.      Cara menghindari prilaku Ghibah
a.        Ingat bahwa Allah Swt tidak menyukai ghibah
 Perlu diketahui bahwa akhlak yang buruk dapat diobati dengan ilmu dan amal shaleh. Dengan demikian untuk mengobati keinginan melakukan ghibah, maka seseorang harus ingat bahwa ghibah tidak disukai oleh Allah Swt karena orang yang melakukan ghibah berarti ia telah melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt. Apabila seseorang telah mengetahui dan percaya mengenai ancaman bagi pelaku ghibah. Amak niscaya tidak akan melakukan perbuatan tersebut.
b.      Melakukan Intropeksi diri
Hal lain yang dapat memalingkan seseorang dari perbuatan ghibah adalah menyibukkan diri dengan melakukan introspeksi terhadap diri sendiri. Ketimbang membicarakan keburukan orang yang belum tentu kebenarannya, maka akan lebih baik merenungi keburukan diri sendiri. Seandainya yang bersangkutan memang memiliki aib atau keburukan diri, maka hendaklah yang terpikir adalah bagaimana menghilangkan aib tersebut dari diri sendiri bukan mempertahankan aib yang ada lalu mengumbar air orang lain. Apabila seseorang memang benar-benar tidak memiliki aib atau kecacatan diri dalam berprilaku, maka yang harus dilakukan asumsi kesucian diri tersebut salah.
c.       Menyadari bahwa ghibah menyakitkan
Di antara hal yang dapat mencegah seseorang dari melakukan ghibah adalah membayangkan bagaimana sakitnya perasaan orang yang bersangkutan seandainya prilakunya yang kurang baik tersebut diceritakan kepada orang lain. Seseorang harus sadar apabila hal tersebut menimpa ada dirinya. Tentu saja perasaannya akan hancur. Sebagaimana dirinya tidak ingin merasakan sakit hati, maka hal yang sama juga dialami oleh orang lain. Dengan demikian ia akan menghentikan perbuatan ghibahnya/
5.      Berburuk sangka
Berburuk sangka di dalam hati sama dengan membicarakan keburukan orang lain dengan ucapan. Apabila melakukan ghibah diharamkan, maka berburuk sangka terhadap orang lain di dalam hati juga haram. Oleh karena tidak boleh berburuk sangka di dalam hati terhadap orang lain. Berburuk sangka dilarang karena ia akan menghantarkan pada kecondongan hati asumsi buruk kepada orang lain.

Hai orang­orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba­sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba­sangka itu dosa. dan janganlah mencari­cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS. Al­Hujurat(49):12)
Selain itu berburuk sangka dilarang karena  hati seseorang yang mengeathui hanya Allah Swt. Ketika seorang manusia sudah meyakini keburukan pada diri orang lain padahal ia belum melihat dengan nyata atau melihat dengan mata kepalanya sendiri, maka sesungguhnya hawa nafsu dan setan sudah masuk dan mempengaruhi dirinya.  Oleh karena itu ketika terlintas di hatimu su’u dzan terhadap seseorang, maka berusahalah untuk menepisnya dan meyakinkan diri bahwa sosok yang bersangkutan adalah orang baik.
Hal lain akibat dari buruk sangka adalah terjadinya tajassus atau mencari-cari kesalahan orang lain yang dilarang oleh Allah Swt dan rasulNya.
6.      Ghibah yang di perbolehkan
Tidak berarti seluruh keburukan orang lain yang diceritakan merupaakn perbuatan ghibah terdapat beberapa hal yang diperbolehkan bagi kita untuk menceritakan keburukan orang lain, yaitu:
Pertama, Mengungkap kezaliman Yang dimaksud dengan mengungkap kezaliman adalah seperti terdapat orang yang teraniaya oleh orang lain. Tidak mungkin bagi orang yang teraniaya tersebut untuk diam saja. Tentu saja ktika pihak berwajib melakukan intrograsi perihal penganiayaan yang terjadi pada dirinya, maka ia harus secara terbuka menceritakan kejadian yang sebenarnya sehingga akan menjadi jelas sesungguhnya apa yang sudah terjadi. Di sinilah seseorang boleh mengungkapkan aib orang lain karena memang diperlukan.
Kedua, Meminta fatwa Apabila terjadi suatu masalah di dalam rumah tangga,  misalnya Seorang isteri ingin menanyakan mengenai hukum yang terkait dengan kerumahtanggaan khususnya dalam hal pemberian nafkah karena sudah beberapa minggu suami yang bersangkutan tidak memberikan nafkah. Dalam hal ini tidak mungkin seorang isteri tidak menceritakan aib suami, karena ketetapan hukum dalam masalah ini tidak akan bisa tergambar tanpa penjelasan dari seorang isteri . Dalam hal ini menceritakan iab seorang isteri dalam rangka meminta fatwa ukum dibolehkan.
Ketiga,            memberi peringatan kepada orang lain Terkadang seseorang memerlukan kesaksian orang lain demi kewaspadaan. Ketika ada seseorang ingin bekerja misalnya, pihak yang ingin menerima tentu harus mencari tahu tentang sosok yang bersangkutan, baik melalui teman dekat atau melalui kepolisian. Dengan demikian pihak-pihak yang dimintakan informasi tentu harus mengemukakan apa adanya perihal yang bersangkutan demi kebaikan pihak penerima dikemudian hari.
 Keempat, nampak dengan jelas cacatnya Dalam suatu kesempatan terkadang seseorang  bertanya mengenai identiitas orang tertentu. Secara kebetulan orang yang diperlukan ini memiliki cacat fisik yang sesungguhnya tidak boleh diungkapkan karena barangkali apabila diungkapkan akan mnyinggung perasaan. Hanya saja karena tidak ada lagi ciri-ciri yang bisa disebutkan kecuali dengan menyebutkan fisik yang cacat tersebut, maka hal tersebut tidak menjadi masalah dan tidak termasuk ghibah seperti meneybut seseorang buta atau pincang kakinya.
Kelima, Memiliki prilaku buruk yang  sudah  diketahui luas Tidak mengapa seseorang mengemukakan keburukan orang lain apabila keburukan tersebut sudah diketahui oleh masyarakat umum, sebab hal tersebut sudah bukan menjadi rahasia lagi, tetapi sudah menjadi konsumsi publik. Dengan demikian membicarakan perihal seperti ini tidak termasuk ghibah yang dilarang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar